I.PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat
luas untuk peningkatan produkivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi.
Beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia dan
kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus bertambah dengan laju
peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk
dari non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi
akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena
degradasi kesuburan lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi
cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan dengan perkiraan terjadinya
penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan penanggulanggannya melalui peningkatan
intensitas pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang ada, pencetakan lahan
irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan marginal
seperti lahan rawa pasang surut.
Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar
untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam
menunjang ketahanan pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas
sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta diantaranya mempunyai potensi untuk
pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993). Propinsi Jambi
diperkirakan memiliki lahan rawa seluas 684.000 ha, berpotensi untuk
pengembangan pertanian 246.481 ha terdiri dari lahan pasang surut 206.832 ha
dan lahan non pasang surut (lebak) 40.521 ha (Bappeda, 2000). Menurut Suwarno et
al. (2000) bahwa permintaan bahan pangan khususnya beras terus meningkat
dari tahun ke tahun sehingga mendorong pemerintah untuk mengembangkan lahan
pertanian ke wilayah-wilayah bermasalah diantaranya lahan rawa pasang surut
yang tersedia sangat luas, diperkirakan lahan pasang surut dan lahan marginal
lainnya yang belum dimanfaatkan akan semakin meningkat perannya dalam
pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan tersebut untuk pertanian
merupakan alternatif yang dapat mengimbangi berkurangnya lahan produktif
terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan pembangunan
non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993) menunjukkan bahwa
lahan rawa ini cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman pangan,
perkebunan, hortikultura maupun usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini
menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan pertanian sekaligus
mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya
produktivitasnya masih rendah, karena tingkat kesuburan lahannya rendah,
mengandung senyawa pirit, masam, terintrusi air laut dan dibeberapa bagian
tertutup oleh lapisan gambut. Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut
menghadapi berbagai kendala seperti kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi
hara, salinitas serta air yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Komoditas yang banyak diusahakan petani adalah padi dengan teknik budidaya yang
diterapkan masih sederhana dan menggunakan varietas lokal serta pemupukan tidak
lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al, 2000). Untuk mendukung
pengembangan pertanian di lahan pasang surut, pemerintah melalui lembaga
penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa
lokasi pasang surut Kalimantan dan Sumatera selama sekitar 20 tahun. Badan
Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Rawa dan berbagai proyek
penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara intensif sejak
pertengahan tahun 1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani sudah
dihasilkan dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk
mendukung pengembangan usahatani atau agribinis di lahan pasang surut. Litbang
pertanian juga telah menghasilkan berbagai komponen teknologi pengelolaan lahan
dan komoditas serta model usahatani (Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et
al., 2003).
Umumnya petani dilahan pasang surut mengusahakan
tanaman padi hanya satu kali dalam setahun yaitu penanaman padi dilakukan pada
musim hujan, dengan pola tanam padi – bera atau padi – palawija. Namun pola
tanam padi – bera lebih dominan dibandingkan dengan pola tanam padi-palawija.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produksi padi melalui intensifikasi
dengan meningkatkan produktivitas padi musim hujan melalui penerapan inovasi
teknologi PTT padi dan meningkatkan intensitas pertanaman padi di lahan pasang
surut. Makalah ini bertujuan mengoptimalkan potensi sumber daya lahan lahan
untuk peningkatan produksi dan produktivitas padi melalui penerapan inovasi
teknologi pertanaman padi musim hujan dan peningkatan intensitas pertanaman
padi (IP Padi 200) di lahan pasang surut desa Teluk Ketapang Kecamatan
Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi.
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah untuk mengetahui Pertanian Berkelanjutan yang di lakukan pada Lahan Rawa
Pasang Surut.
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Lahan Pasang surut
Lahan rawa adalah lahan yang
tergenang secara terus menerus akibat drainase buruk. Lahan rawa di bagi
menjadi dua yaitu rawa lebak dan rawa pasang surut. Lahan rawa pasang surut
merupakan lahan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Lahan pasang surut merupakan suatu
lahan yang terletak pada zone/wilayah sekitar pantai yang ditandai dengan
adanya pengaruh langsung limpasan air dari pasang surutnya air laut atau pun
hanya berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan
rawa pasang surut terdiri dari tanah gambut dan tanah sulfat masam.
Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal
dengan meningkatkan fungsi dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang
potensial untuk dijadikan lahan pertanian di masa depan. Untuk mencapai tujuan
pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada beberapa kendala. Kendala
tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air, agronomi,
sosial dan ekonomi
Kemudian tanah pasang surut biasanya
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan terutama untuk lahan persawahan. Luas
lahan pasang surut yang dapat dimanfaatkan berfluktuasi antara musim kemarau
dan penghujan. Pemanfaatan lahan pasang surut telah menjadi sumber mata
pencaharian penting bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat
menggunakannya sepanjang tahun. Rata - rata lahan pasang surut hanya dapat
ditanami sekali dalam setahunnya selebihnya dibiarkan dalam keadaan bero
karena tergenang air. Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada
kaitannya dengan kepentingan pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada
musim penghujan. ( Hanggari,2008)
2.1.1
Zona wilayah lahan pasang surut
Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari
wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut
lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran
pulau-pulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh
pasang surut air laut/salin. Pada zona wilayah rawa, terdapat
kenampakan-kenampakan (features) bentang alam (landscape)
spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform.
Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih
detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut
air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai. dan
diilustrasikan pada Gambar :
Bagian terdepan terdapat “dataran
lumpur”, atau “mud-flats”, yang terbenam sewaktu pasang dan muncul
sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran
lumpur, pada pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk
bukit-bukit rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang terbentuk di sini
merupakan tanah berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau kecil dan sempit
yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah
bertekstur liat. Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut
bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian masih selalu digenangi pasang
dan ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya
terdapat bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui
sungai-sungai kecil (creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water)
yang kuat dari wilayah hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati
depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini
ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans),
panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae).
2.2. Luas
Lahan dan Penyebarannya
Dengan menggunakan peta satuan lahan skala 1 :
250.000, Nugroho et al. (1992) memperkirakan luas lahan rawa pasang
surut di Indonesia, khususnya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya
mencapai 20,11 juta ha, yang terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71
juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan
salin. Sedangkan menurut wilayah dan statusnya, menunjukkan bahwa potensi lahan
pasang surut terluas ada di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya . Lahan
tersebut tersebar terutama di pantai timur dan barat Sumatera, pantai selatan
Kalimantan, pantai barat Sulawesi serta pantai utara dan selatan Irian Jaya sedangkan
sebaran tipologi lahan berbeda menurut wilayah dalam arti bahwa tiap wilayah
dapat mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan air.
Dari luas lahan pasang surut tersebut, sekitar 9,53
juta hektar berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian, sedangkan yang
berpotensi untuk areal tanaman pangan sekitar 6 juta hektar. Areal yang sudah
direklamasi sekitar 4,186 juta hektar, sehingga masih tersedia lahan sekitar
5,344 juta hektar yang dapat dikembangkan sebagai areal pertanian. Dari lahan
yang direklamasi, seluas 3.005.194 ha dilakukan oleh penduduk lokal dan seluas
1.180.876 ha dilakukan oleh pemerintah yang utamanya untuk daerah transmigrasi
dan perkebunan Pemanfaatan lahan yang direklamasi oleh pemerintah adalah
688.741 ha sebagai sawah dan 231.044 ha sebagai tegalan atau kebun, sedangkan
261.091 ha untuk keperluan lainnya.
2.3 Prospek Untuk Prosuksi Tanaman Pangan
Berbagai hasil penelitian dan pengalaman
memperlihatkan bahwa lahan pasang surut memiliki prospek yang besar untuk
dikembangkan menjadi areal produksif tanaman pangan untuk mendukung peningkatan
ketahanan pangan dan bahkan untuk diversifikasi produksi dan pengembangan
agroindustri serta pengembangan agribisinis dan lapangan kerja (Ismail et al.,
1993).
2.4 Tipologi dan Tipe lahan pasang surut
2.4.1 Tipologi Lahan Pasang Surut
Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut
digolongkan ke dalam empat tipologi utama, yaitu:
(1) lahan potensial
Lahan
potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan ciri lapisan pirit
(2 %) berada pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur tanahnya liat, kandungan
N dan P tersedia rendah, kandungan pasir kurang dari 5 persen, kandungan debu
20 % dan derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5 . (Manwan, I. dkk.1992). Lahan potensial yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah
sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman
lebih dari 50 cm dari permukaan tanah (Jumberi)
(2) lahan sulfat masam
lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan
piritnya berada pada kedalaman kurang dari 30 cm dan berdasarkan tingkat
oksidadinya lahan sulfat masam ini dibagi lagi lahan sulfat masam potensial
yaitu lahan sulfat masam yang belum mengalami oksidasi dan lahan sulfat masam
aktual yaitu lahan sulfat masam yang telah mengalami oksidadi. (Manwan, I.
dkk.1992).
Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi : (a)
lahan sulfat masam potensial,
yaitu apabila lapisan piritnya belum teroksidasi dan (b) lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila
lapisan piritnya sudah teroksidasi yang dicirikan oleh adanya horizon sulfurik dan pH tanah <
3,5. (Jumberi,)
(3) lahan gambut/bergambut
lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai
lapisan gambut dan berdasarkan ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam
empat sub tipologi yaitu lahan bergambut, gambut dangkal, gambut dalam dan
gambut sangat dalam, umumnya lahan gambut kahat beberapa unsur hara mikro yang
ketersediaannya sangat penting untu pertumbuban dan pekermbangan
tanaman(Manwan, I. dkk.1992).
lahan gambut ini dibagi lagi menjadi : (a) lahan bergambut bila ketebalan lapisan
gambut 20-50 cm, (b) gambut dangkal bila
ketebalan lapisan gambut 50-100 cm, (c) gambut
sedang bila ketebalan lapisan gambut 100-200 cm, (d) gambut dalam bila ketebalan lapisan
gambut 200-300 cm dan (e) gambut sangat
dalam bila ketebalan lapisan gambut > 300 cm. (Jumberi,)
(4) lahan salin
lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat
intrusi air laut, sehingga mempunyai daya hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na
dalam larutan tanah 8 – 15 % (Manwan, I. dkk.1992).
Lahan salin adalah
lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air garam dengan
kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama lebih dari 3 bulan
dalam setahun, sedangkan lahannya dapat berupa lahan potensial, sulfat masam
dan gambut. (Jumberi,?)
Berdasarkan pertimbangan bahwa
faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa
adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya
masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat
dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari
air salin/payau, (d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan (e) keadaan
lapisan tanah bawah, atau substratum.
Penggolongan tipologi lahan pasng surut di atas
sangat umum, sehingga menyulitkan transfer teknologi dalam satu tipologi lahan,
oleh karena itu diusulkan penggelompokkan lahan yang lebih rinci dengan
mempertimbangkan berbagai ciri dan karakteristik yang lebih spesifik
2.4.2 Tipe Luapan air pasang surut
Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan
pasang surut: (1) tipe luapan A bila lahan selalu terluapi air baik pada waktu
pasang besar maupun pasang kecil dan Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air
pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau,; (2) tipe luapan B bila
lahannya hanya terluapi oleh air pasang besar. lahan bertipe luapan B hanya
terluapi air pasang pada musim hujan saja; (3) lahan tidak terluapi air pasang
baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi permukaan air tanah kurang dari
30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan C tidak terluapi air pasang
tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,; (4) tipe luapan D bila
lahannya tidak terluapi oleh air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil,
tetapi permukaan air tanahnya berada pada kedalaman lebih dari 30 cm dari
permukaan tanah.
Tipologi lahan dan tipe luapan air merupakan acuan
yang seharusnya dipatuhi dalam penerapan paket teknologi agar usahatani yang
dikelola dapat memberikan hasil yang optimal. Paket teknologi usahatani itu
sendiri pada garis besarnya berisi: (1) teknik pengelolaan lahan dan air yang
memuat pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik pada tingkat makro maupun
tingkat mikro, penataan dan pengeolahan lahan; (2) teknik budidaya yang memuat
teknik budidaya tanaman, ikan dan ternak, di dalamnya meliputi vareitas/jenis
yang cocok, pupuk dan pemupukkan, pencegahan dan pengendalian organisme
penganggu tanaman (OPT), dan; (3) teknik reklamsi lahan. Pengelolaan lahan dan
air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pengelolaan usahatani di
lahan pasang surut dalam kaitannya dengan optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya lahannya ( Alihamsyah, 2003).
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran air baik di
tingkat makro maupun ditingkat mikro sangat tergantung dengan tipe luapan air
pada satu kawasan tertantu. Pada lahan yang bertipe luapan A diatur dengan
sistem satu arah, lahan yang bertipe luapan B selain dengan sistem satu arah
juga disertai dengan sistem tabat. Sedangkan lahan yang bertipe luapan C dan D
dimana sumber air utamanya adalah air hujan digunakan sistem tabat yang
dilengkapi dengan pintu stoplog untuk menjaga permukaan air tanah sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan yang lebih terpenting adalah agar permukaan air tanah
selalu tetap berada pada lapisan pirit dengan kandungan lebih dari 2% dengan
maksud agar tidak terjadi oksidasi. Pada pengaturan pemasukan dan pengeluaran
air satu arah, saluran pemasukkan dan pengeluaran dibedakan dimana antara
saluran pemasukkan dan pengeluaran dibuatkan pintu engsel (Flape Gate) yang
membuka kedalam pada saluran pemasukkan dan membuka keluar pada saluran
pembuangan (Ismail, I.G. dkk. 1993).
2.5 Penataan
Lahan di Pasang surut
Penataan lahan yang dianjurkan selain tergantung
dari tipologi lahan dan tipe luapan air juga tergantung dari sistem usahatani
yang akan dikelola, apakah hanya satu jenis tanaman, lebih dari satu jenis
tanaman namun memiliki kebutuhan air dalam veolume yang sama atau meiliki
kebutuhan air yang berbeda. Pada lahan yang tipe luapan air A pilihannya tidak
banyak untuk lahan potensial sulfat masam dan gambut dangkal, dengan karekaterisitik
ini pentaan lahan sebaiknya diarahkan sebagai sawah dan tanaman yang diusahakan
hanya padi yang dapat ditanam 2 kali. Lahan yang bertipe luapan B-C
penataaannya dapat diarahkan sebagai sawah/surjan, surjan bertahap atau
tegalan, sedangkan lahan yang bertipe luapan B untuk lahan potensial, sulfat
masam, dan gambut dangkal diarahkan sebagai tegalan dan untuk gambut sangat
dalam tanaman yang disarankan adalah tanaman perkebunan (Alihamsyah, 2003).
Lebih lanjut dikemukakan, penataan lahan sebagai surjan memiliki keuntungan:
(1) intensitas penggunaan lahan meningkat; (2) beragam produksi pertanian dapat
dihasilkan; (3) resiko kegagalan panen dapat dikurangi, dan (4) stabilitas
produksi dan pendapatan usahatani meningkat.
Menurut Widjaja Adhi (1995) dan Subagyo dan Widjaja
Adhi (1998), lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan
disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta tujuan
pemanfaatannya .Secara umum terlihat bahwa lahan bertipe luapan A yang karena
selalu terluapi air pasang dianjurkan ditata sebagai sawah, sedangkan lahan
bertpe luapan B dapat ditata sebagai sawah atan surjan. Lahan bertipe luapan
B/C dan C karena tidak terluapi air pasang tetapi air tanahnya dangkal dapat
ditata sebagai sawah tadah hujan atau surjan bertahap dan tegalan, sedangkan
untuk yang bertipe luapan D ditata sebagai sawah tadah hujan atau tegalan dan
perkebunan. Lahan lahan sulfat masam akan lebih murah dan aman bila ditata
sebagai sawah karena dalam keadaan anaerob atau tergenang, pirit tidak
berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Bila disawahkan tanaman padi kemungkinan
menderita keracunan besi dan/atau sulfida mungkin juga kahat fosfat. Sebaliknya
bila ditanami palawija atau dimanfaatkan sebagai tegalan, tanaman menderita
keracunan Al dan kemungkinan disertai kahat fosfat.
Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah
dan pupuk merupakan faktor penting untuk memperbaiki kondisi tanah dan
meningkatkan produktivitas lahan. Amelioran tersebut dapat berupa kapur atau
dolomit maupun bahan organik atau abu sekam dan serbuk kayu gergajian. Secara
umum pemberian kapur antara 0,5 ton hingga 3,0 ton per hektar sudah cukup
memadai (Sudarsono, 1992 dan Trip Alihamsyah 2003).
Salah satu penciri yang spesifik dari lahan pasang
surut adalah tingginya tingkat keragaman kesuburan lahan sekalipun dalam satu
petakan sawah. Untuk itu kisaran dosis pupuk yang dibutuhkan batas antara
kebutuhan minimal dengan kebutuhan maksimal cukup besar (Tabel 2) sedangkan
pada lahan gambut terdapat dosis tunggal namun pada lahan yang bertipologi
lahan ini perlu ditambahkan unsur hara mikro seperti Cu dan Zn, karena umumnya
lahan gambut kahat akan unsur hara mikro (Suryadilaga, D.A., dkk.1992 dan
Sudarsono 1992). Untuk mendapatkan dosis pupuk yang tepat pada tingkat
keragaman yang tinggi merupakan suatu masalah tersendiri dalam mengelola lahan
pasang surut untuk pertanian. Di tingkat petani, ini adalah hal yang sangat
sulit dilakukannya, untuk itu peran petugas lapang mengarahkan petani dalam
penentuan dan pemberian pupuk dengan dosis yang sesuai dengan kebutuhan tanaman
sangat dibutuhkan, di lain sisi petugas lapang itu sendiri perlu dibekali
dengan pengetahuan yang memadai.
Selain varietas unggul spesifik lahan pasang surut
di atas, beberapa varietas padi unggul nasional juga dapat beradaptasi dengan
baik di lahan pasang surut dengan hasil yang cukup tinggi. Variertas-vareitas
tersebut antara lain adalah Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR 42, dan IR66
(Sastraatmaja, S. dan Dadan Ridwan Ahmad. 2000).
III. PEMBAHASAN
PENERAPAN PERTANIAN
BERKELANJUTAN DI LAHAN RAWA PASANG SURUT
Kesesuaian
Inovasi/Karakteristik Lokasi :
Lahan pasang surut di Propinsi Jambi sebagian besar terdapat di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur terletak pada 102o70’
sampai dengan 103o00’ Bujur Timur dan 01o00’ sampai dengan
01o30’ Lintang Selatan. Luas
areal potensial untuk pengembangan komoditas pertanian diperkirakan 200.000 ha
dari luas tersebut potensi untuk tanaman pangan 90.000 ha. Kabupaten Tanjung
Jabung Timur merupakan Kabupaten yang memberikan kontribusi terbesar beras di
Propinsi Jambi (Pemda Tanjabtim). secara geografis terletak antara 01 o
06’20”-01o13’33” dan 104o01’22”-104o09’06” BT.
Lahan pasang surut terbagi atas 4 tipologi yaitu lahan
potensial, sulfat masam, lahan gambut dan salin serta tipe luapan air A, B, C
dan D. Iklimnya type B berdasarkan
klasifikasi iklim Schmit dan Ferguson dengan bulan basah antara 8-10 bulan dan
bulan kering 2-4 bulan. Curah hujan bulanan tertinggi umumnya terjadi pada
bulan Desember/januari dan curah hujan terendah bulan Agustus.
Keunggulan/Nilai
Tambah Inovasi :
Penerapan inovasi teknologi tersebut dapat meningkatkan kualitas dan
produktivitas lahan, dapat meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan
penerapan beragam pola tanam serta pendapatan petani. Produksi padi meningkat
dari 2,5 – 3 ton/ha menjadi 4-6 ton/ha. Penerimaan usahatani padi per hektar
sebesar Rp. 6.250.000 dan keuntungan usahatani padi per hektar yaitu Rp.
3.303.000.
Uraian Inovasi
:
Tabel 1.
Inovasi teknologi sistem usahatani padi di lahan pasang surut
No
|
Komponen Teknologi
|
Inovasi teknologi
|
1.
|
Pola tanam dan penataan lahan
|
Sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan air
|
|
|
Padi-Padi
|
|
|
Padi-Palawija/Hortikultura
|
2.
|
Pengelolaan tata air
|
|
|
- Makro
|
Saluran Primer, Sekunder, Pintu air
|
|
- Mikro
|
Saluran kemalir/cacing (20x30 cm)
|
|
|
Saluran kuarter (60x60 cm)
|
|
|
Saluran terier (75x70 cm)
|
3.
|
Pengelolaan lahan
|
Olah tanah dan TOT dengan herbisida
|
4.
|
Varietas
|
Batanghari, IR 42, Indragiri, Margasari, Sei Punggur, Lambur. Banyuasin.
|
5.
|
Pemupukan dan Ameliorasi (kg/ha)
|
Sesuai dengan tipologi lahan
|
|
Urea
|
100-300
|
|
SP
|
120-180
|
|
KCl
|
100-150
|
|
Dolomit
|
1000-3000
|
|
CuSO4
|
5
|
|
ZnSO4
|
10
|
6.
|
Pengendalian hama/penyakit
|
PHT
|
Cara
Penggunaan Inovasi :
Pola Tanam dan Penataan Lahan
Pola tanam dengan penataan lahan sawah pada tipe luapan A adalah padi-padi.
Sedangkan pola tanam dengan penataan lahan sawah atau surjan pada tipe luapan
air B adalah padi-padi dan padi- palawija/hortikultura.
Tabel 2. Acuan
penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan pasang
surut.
Tipologi
Lahan
|
Tipe
luapan air
|
|||
A
|
B
|
C
|
D
|
|
Potensial
|
Sawah
|
Sawah/surjan
|
Sawah/surjan/tegalan
|
Sawah/tegalan/
kebun
|
Sulfat
masam
|
Sawah
|
Sawah/surjan
|
Sawah/surjan/tegalan
|
Sawah/tegalan/
kebun
|
Bergambut
|
Sawah
|
Sawah/surjan
|
Sawah/tegalan
|
Sawah/tegalan/
kebun
|
Gambut
dangkal
|
Sawah
|
Sawah/surjan
|
Sawah/tegalan
|
Tegalan/kebun
|
Gambut
sedang
|
-
|
Konservasi
|
Tegalan/perkebunan
|
Perkebunan
|
Gambut
dalam
|
-
|
Konservasi
|
Tegalan/perkebunan
|
Perkebunan
|
Salin
|
Sawah/tambak
|
Sawah/tambak
|
-
|
-
|
Tata Air
Pengelolaan tata air
makro dan mikro merupakan faktor penentu keberhasilan pengelolaan lahan
pasangsurut. Pengoperasian dan perawatan tata air makro (meliputi jaringan
saluran primer, sekunder dan tertier serta pintu air) selama ini menjadi
tanggung jawab Dinas PU sedangkan tata air mikro (jaringan saluran kuarter,
saluran keliling dan cacing) menjadi tanggung jawab petani. Saluran
cacing/kemalir dibuat dengan jarak 9 m dan 12 m. Pada lahan bertipe lupan air A
diatur dalam system aliran satu arah sedangkan pada lahan bertipe luapan air B
diatur dengan system satu arah dan
tabat, karena air pasang pada musim kemarau sering tidak masuk kepetakan lahan.
Sistem tata air pada tipe luapan air C dan D ditujukan untuk menyelamatkan air,
karena sumber air hanya berasal dari air hujan. Oleh karena itu saluran air
pada system tata air di lahan bertipe luapan air C dan D perlu ditabat dengan
pintu air stoplog unuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan
tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut.
Varietas
Varietas unggul yang
beradaptasi baik di sawah lahan pasang surut dengan tingkat kemasman dan kadar
besinya tidak terlalu tinggi adalah kapuas, Cisanggarung, Cisadane, Cisokan, IR
42, Batanghari, Indragiri, Punggur. Pada lahan dengan kemasaman dan kadar
besinya tinggi dapat digunakan varietas unggul lokal seperti Ceko, Siam,
Sepulo, Pontianak.
Pengelolaan Lahan
Penyiapan lahan dengan
pengolahan tanah di lahan pasang surut diperlukan selain untuk memperbaiki
kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan adanya penggemburan dan
pelumpuran juga untuk mempercepat proses pencucian bahan beracun dan
pencampuran bahan ameliorasi maupun pupuk dengan tanah . Pengolahan tanah yang
memberikan hasil baik dari segi fisik lahan dan hasil tanaman adalah dengan
bajak singkal atau tajak diikuti oleh rotary atau glebeg yang dikombinasikan
dengan herbisida . Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur baik dan merata
yang umumnya dijumpai pada lahan bergambut dengan tipe luapan air A dan B, pengolahan
tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan pengolahan tanah
minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang dikombinasikan dengan penggunaan
herbisida. Hal ini menunjukkan bahwa dilahan pasang surut untuk pengolahan
tanahnya tergantung kondisi lahannya. Walaupun pengolahan tanah diperlukan tapi
tidak harus dilakukan setiap musim, karena pengolahan tanah yang dilakukan
selang dua musim tanam tidak menurunkan hasil tanaman.
Ameliorasi dan Pemupukan
Pemberian bahan
amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk merupakan faktor penting unuk
memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. Bahan tersebut
dapat berupa kapur atau dolomit maupun bahan organik atau abu sekam dan serbuk
kayu gergajian. Pemberian kapur sebanyak
1-2 ton/ha mampu meningkatkan hasil padi dan palawija, untuk keperluan praktis
secara umum pemberian kapur sebanyak 0,5 – 1 ton/ha sudah cukup memadai. Dari
serangkaian kegiatan hasil penelitian
pengelolaan hara dan pemupukan dapat disintesiskan dosis optimum untuk
tanaman padi tertera pada tabel 2 .
Takaran pupuk dilahan pasang surutt perlu disesuaikan dengan status hara
tanah, hal ini berdasarkan serangkaian penelitian pemupukan berdasarkan status
hara tanah untuk tanaman padi varietas yang kurang tanggap terhadap pupuk N
seperti varietas Margasari.
Tabel 2. Dosis pupuk dan bahan amelioran
untuk tanaman padi di lahan pasang surut
Jenis
Pupuk
(kg/ha)
|
Lahan
potensial
|
Lahan
sulfat masam potensial
|
Lahan
gambut
|
N
atau urea
|
45-90 =100-200
|
67,5-135
=150-300
|
45=100
|
P2O5
atau SP36
|
22,5-45= 60-120
|
45,0-70 =120-180
|
60=160
|
K2O
atau KCl
|
50=100
|
45,0-70 =
90-150
|
50=100
|
CuSO4
atau terusi
|
-
|
-
|
5
|
ZnSO4
|
-
|
-
|
10
|
Kapur
atau dolomite
|
-
|
1000-3000
|
1000-2000
|
Pengendaliaan Hama Terpadu
Penyebab utama tingginya
intensitas serangan hama dan penyakit adalah 1) kedekatan lokasi lahan pasang
surut dengan hutan terutama lahan yang baru dibuka dan 2) sempitnya areal
pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama dan penyakit terkosentrasi.
Pada dasarnya pengendalian dilakukan mengacu pada strategi pengelolaan hama
terpadu (PHT), yaitu melalui penggunaan varietas tahan dan musuh alami, teknik
budidaya yang baik dan sanitasi lingkngan. Penggunaan pestisida kimiawi
dilakukan sebaagai tindakan terakhir. Startegi dan cara pengendaliaan terpadu
hama tikus di lahan pasang surut disajikan pada tabel 3. Strategi pengendalian
tikus tersebut didasarkan pada kombinasi dan cara pengendalian berdasarkan
stadia tanaman padi dilapangan. Untuk keberhasilan pengendalian hama dan
penyakit diperlukan dukungan petani dan aparat serta sarana dan prasarana
penunjang yang mewadai.
Tabel 3. Strategi dan cara pengendalian
hama tikus di lahan pasang surut
Stadia
tanaman padi
|
Komponen
teknologi pengendaliaan
|
||||
Gropyokan
|
Umpan
beracun
|
Fumigasi
|
SPP
|
Perangkap
bambu
|
|
Bera
|
*
|
*
|
*
|
|
|
Persemaian
|
*
|
*
|
*
|
|
|
Anakan
aktif
|
|
|
*
|
*
|
|
Bunting
|
|
|
*
|
*
|
*
|
Bermalai
|
|
|
*
|
|
*
|
Panen
|
|
|
*
|
|
*
|
SPP : Sistem
pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi
Informasi Lain
Yang Perlu Ditonjolkan :
-
Tata
air mikro dapat mengurangi kemasaman tanah dan kandungan besi yang merupakan
kendala utama dilahan pasang surut
-
Sistem
TOT disertai dengan penyemprotan herbisida Glyfosat sebanyak 6 l/ha pada lahan
sulfat masam dan bergambut yang sudah melumpur selain dapat mengurangi waktu
kerja 70-75 % juga meningkatkan hasil padi.
-
Keseimbangan
hara N, P, K dan Ca sangat penting dalam pengelolaaan hara dan pemupukan
dilahan pasang surut. Dengan pemberian hara secara lengkap dapat meningkatkan
hasil padi dari 0,64 ton/ha menjadi 4,24 ton/ha sampai 6,0 ton/ha
2.8
Kelebihan dan Kekurangan dari lahan pasang surut
Kelebihan dari tanah pasang surut:
·
Memanfaatkan
lahan yang diperkirakan lahan yang tidak dapat di gunakan oleh lahan pertanian
·
Memaksimalkan
lahan yang terdapat disuatu daerah
·
Mungurangi
tingkat penggangguran di daerah yang memiliki lahan pasang surut
kekurangan
tanah pasang surut:
·
Adanya perluasan wilayah
pasang surut yang disebabkan karena pendangkalan di tepian rawa, sehingga
wilayah rawa menyempit. Hal ini dapat dipercepat dengan kebiasaan membuang
limbah sisa panen (jerami) ke dalam rawa.
·
Pencucian unsur hara dan
kegiatan pemupukan yang menyebabkan eutrofikasi. Akibat pemupukan 300 Sittadewi, E. H. 2008 anorganik,
menimbulkan adanya kekhawatiran bahwa pada saat air pasang, unsur – unsur
terlarut masuk dalam lingkungan perairan. Hal ini dapat menimbulkan suburnya
berbagai species tumbuhan aquatik maupun semi aquatik seperti eceng gondok,
jenis rumput dll. Hal inilah yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
·
Peningkatan kadar keasaman
lahan karena pelapukan bahan organik dan kelarutan zat tertentu serta pencucian
zat kimia dan penyemprotan pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh yang
dipergunakan oleh petani. Jika residu atau senyawa yang ikut terlarut dalam air
irigasi dan masuk dalam lingkungan perairan rawa akan mempengaruhi kualitas air
rawa dan kehidupan di dalamnya termasuk populasi ikan.
·
Penggarapan lahan pasang
surut menjadikan lahan subur bagi berbagai jenis tumbuhan liar, selain tanaman
budidaya. Jika lahan tersebut kemudian dibiarkan menjadi bero, dengan cepat
akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan liar. Hadirnya species tumbuhan terjadi
secara bergantian melalui proses adaptasi dan suksesi, dapat merubah lahan
secara perlahan.
·
Pengolahan lahan, pada
dasarnya menyebabkan partikel tanah lepas sehingga rawan terhadap erosi. Bila
hal ini terjadi, erosi tersebut akan mempercepat proses penambahan sedimen ke
dasar perairan rawa.(
Hanggari,2008)
2 komentar:
dafus nya mana?
Terima kasih telah membantu. Mantap!
Posting Komentar